BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Teori Gestalt merupakan teori terhadap manusia dipengaruhi oleh filsafat eksistensial dan
fenomenologi. Asumsi dasar pendekatan Gestalt tentang manusia adalah bahwa
individu dapat mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila
mereka menggunakan kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia
sekitarnya. Gestalt berpendapat bahwa individu memilik masalah karena
menghindari masalah. Oleh karena itu pendekatan Gestalt mempersiapkan individu
dengan intervensi dan tantangan untuk membantu konseling menapai integrasi diri
dan menjadi lebih autentik.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sejarah pendekatan Gestalt?
2. Bagaimana Landasan filosofis
Gestalt?
3. Apa saja tujuan konseling dalam pendekatan gestalt?
4. Apa saja peran dan fungsi konselor dalam pendekatan gestalt?
5. Bagaimana tehnik-tehnik dalam pendekatan Gestalt?
C.
TUJUAN
1.
Untuk
Mengetahui Tentang Sejarah Pendekatan Gestalt
2.
Untuk
Mengetahui Tentang Landasan Filosofis Gestalt
3.
Untuk
Mengetahui Tentang Apa Saja Tujuan Konseling Dalam Pendekatan Gestalt
4.
Untuk
Mengetahui Tentang Peran Dan Fungsi Konselor Dalam Pendekatan Gestalt
5.
Untuk
Mengetahui Tentang Tehnik-Tehnik Dalam Pendekatan Gestalt
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH PENDEKATAN GESTALT
Pendekatan Gestalt adalah terapi
yang termasuk dalam terapi phenomenological-existential yang di prakarsai oleh
frederick (Fritz) and Laura Perls pada tahun 1940-an. Pendekatan ini
mengajarkan konselor dan konseling metode kesadaran fenomenologi, yaitu bagaimana
individu memahami, merasakan, dan bertindak serta membedakannya dengan
interprestasi terhadap suatu kejadian dan pengalaman masa lalu. Alasan-alasan
dan interprestasi di anggap sebagai sesuatu yang kurang reliabel dibandingkan
hal yang langsung diterima dan dirasakan oleh individu. Pendekatan Gestalt
berfokus pada proses (What is Happening) daripada isi (What is being
discussed). Penekanannya pada apa yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan
pada saat ini daripada yang sudah, yang mungkin, dan yang harus dilakukan, di
pikirkan dan dirasakan.[1]
Sejarah pendekatan Gestalt di awali
sejak tahun 1926 ketika perls mendapatkan gelar medical doctor (M.D) pergi ke
frankfrut-am-main dan menjadi asisten Kurt Goldstein di the institute for brain Damaged Soldiers. Di sinilah perls
bekerjasama dengan profesor goldsteins dan Adhemar Gelb serta ia bertemu dengan
calon isterinya, Laura. Pada waktu itu frankfrut –am-main adalah pusat
pergolakan intelektual dan perls secara langsung dan tidak langsung terekspos
dengan pengaruh filsafat eksistensial dan psikoanalisis yang menjadi akar
pemikirannya dalam mengembangkan pendekatan Gestalt (Corey, 1986, p. 120;
Yotnef 1993).[2]
Terdapat tiga tokoh yang
mempengaruhi perkembangan intelektual perls hingga menghasilkan pendekatan Gestalt.
Pertama, filsuf Sigmund Friedlander, dari dialah perls mendapatkan
konsep tentang differential thinking dan creative indiference, yang ia sebutkan
dalam buku pertamanya, Ego, Hunger and Aggressipn (1947). Kedua Perls
dipengaruhi oleh jan Smuts, perdana mentri afrika utara dimana perls pindah
bersama keluarganya ketika melarikan diri dari Nazi German ketika Nazi
menguasai belanda. Sebelum menjadi perdana menteri, Smuts telah menulis buku
utama tentang Holism and Evolution yang menjadi acuan perspektif Gestalt. Ketiga
Alfred Korzybski, seorang ahli semantik yang berpengaruh pada perkembangan
pemikiran intelektual perls (Yotnef 1993).
Pendekatan Gestalt di mulai ketika
perls menulis Ego, Hunger and Aggression pada tahun 1941-1942. Terbitan
pertama buku ini pada tahun 1946 di afrika utara yang berjudul A Revision of
Freud’s and Method. Kemudian buku ini diterbitkan dengan judul The
Beginning of Gestalt Therapy pada tahun 1966. Kata “Gestalt Therapy”
pertama kali digunakan sebagai judul buku yang ditulis oleh fraderick perls,
Ralph hefferline and paul goodman pada tahun 1951. Tak lama setelah dibentunya
the New York institute for Gestalt therapy, yang bermarkas di apertemen milik
fritz and laura perls di new york city (corey, 1986,P.120). apertemen mereka
digunakan untuk seminar, workshop and diskusi kelompok para tokoh-tokoh yang
mempelajari Gestalt, diantaranya paul weisz, Lotte weidenfeld, Buck
eastman,paul goodman, isadore from, elliot shapiro, leo chalfen, iris
sanguilano, james simkin dan kenneth A. Fisher.[3]
Pada tahun 1950-an, berbagai
workshop dan diskusi secara intensif dilakukan dibanyak negara bagian diamerika
serikat dan kemudian pada tahun 1955, kelompok diskusi ini mendirikan the
Gestalt institute of cleveland (Yotnef 1993). Selanjutnya, pada tahun 1960
fritz perls pindah ke west coast. Walter kempler dan james simkin menawarkan
pelatihan Gestalt therapy yang pertama di the Esalen institute ketika musim
panas tahun 1964. Pelatihan ini dilanjutkan dibawah kepemimpinan perls dan
simkin sampai tahun 1968. Setelah perls pindah ke kanada, simkin bersama dengan
irma shepherd, robet w. Resnick Robert L.Martin, jack Downing dan Jhon
Enright, meneruskan pelatihan terapi gestalt di Esalen hingga tahun 1970.[4]
Pada saat ini terdapat setidaknya 62
institut Gestalt terapi di seluruh dunia. The Gestalt journal didedikasikan
untuk mempublikasikan penelitian yang bertema Gestalt therapy (Yotnef 1993).
Walaupun pada awalnya perls adalah seorang psikoanalisis, ia mengkritik
pendekatan psikoanalisis freud. Pertama, pendekatan psikoanalisis berifat
mekanistik, sedangkan Gestalt melihat manusia secara holistik. Gestalt melihat
setiap element kepribadian berhubungan dengan keseluruhan kepribadian. Kedua,
Gestalt menekankan pada kesadaran di sini dan sekarang (here and now) dan
menekankan pentingnya mengevaluasi kondisi dn situasi konseli sekarang (Corey,
1986, P. 120). Ketiga, Gestalt terapi berfokus pada proses sementara
psikoanalisis berfokus pada isi kepribadian. Keempat, proses konseling
bertujuan mencapai pemahaman diri tentang apa yang mereka lakukan pada saat
ini, sementara psikoanalisis berfokus pada mengapa individu bertingkah laku (why
they behave as they do).
B.
LANDASAN FILOSOFIS
1)
Perspektif
Fenomenologi (The Fenomenological Perspektive)
Fenomenologi
adalah disiplin ilmu yang bertujuan yang membantu individu mengambil jarak dari
cara berfikir yang biasa dilakukan individu, sehingga mereka dapat mengatakan
perbedaan apa yang sebenarnya dirasakan pada situasi sekarang dan apa hanya
sebagai residu masalalu (Idhe, 1977 dalam Yotnef1993). Pendekatan Gestalt
memperlakukan hal-hal yang secara subyektif dirasakan individu pada saat ini,
dan apa yang secara obyektif terobservasi sebagai data yang nyata dan penting.[5]
2)
Perspektif
Teori Medan (The Field Theory Perspektive)
Landasan
ilmiyah perspektif fenomenologi Gestalt adalah teori medan (Field Theory).
Field Theory adalah metode untuk mengeksplorasi apa yang di deskripsikan
keseluruhan (the whole field) kejadian yang sedang dirasakan bukan
menganalisis kejadian berdasarkan bagian-bagian tertentu (Yotnef, 1993). Teori
fenomenologi medan dapat didefinisikan sebagai apa yang diobservasi oleh
observer dan, yang bermakna adalah ketika individu mengetahui kerangka berfikir
(The frame of refrence) observer (Yotnef, 1993). Pendekatan medan dan
adalah pendekatan yang deskriptif, bukan spekulatif dan interpretatif.
Penekanannya pada mengobservasi, mendiskripsikan, dan menjelaskan struktur yang
diobservasi (Yotnef, 1993).
3)
Perspektif
Eksistensial (The Existential Perspective)
Exestentialism
adalah dasar dari metode fenomenologi yang berfokus pada eksistensi individu,
hubungan dengan orang lain serta kesenangan dan kesakitan yang langsung
dirasakan (Yotnef 1993). Sebagian besar manusia berfikir secara konvensional
yaitu, cara berfikir yang ambigu atau menghindari pemahaman dan pengakuan
tentang bagaimana dunianya. Membohongi diri sendiri (self deception)
adalah dasar dari ketidakotentikan (inauthencity), yaitu hidup tidak
berdasarkan pada kebenaran diri yang menyeret indvidu memiliki perasaan takut,
bersalah, dan cemas. Terapi Gestalt memberikan strategi untuk menjadi pribadi
yang autentik dan bertanggung jawab secara bermakna kepada diri sendiri. Dengan
menjadi sadar, individu memiliki kemampuan untuk memilih dan mengorganisasikan
eksistensi dirinya secara bermakna (Yotnef, 1993).
C.
PANDANGAN TENTANG MANUSIA
Pandangan pendekatan Gestalt
terhadap manusia dipengaruhi oleh filsafat eksistensial dan fenomenologi.
Asumsi dasar pendekatan Gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat
mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan
kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya. Gestalt
berpendapat bahwa individu memilik masalah karena menghindari masalah. Oleh
karena itu pendekatan Gestalt mempersiapkan individu dengan intervensi dan
tantangan untuk membantu konseling menapai integrasi diri dan menjadi lebih
autentik.[6]
Perls berkata individu akan lebih
baik bila mereka kehilangan pikiran mereka dan beralih ke sensasi, artinya
bahwa badan dan perasaan adalah indikator yang lebih baik dan bisa dipercaya
untuk melihat kondisi psikologis individu. Tanda-tanda yang diperlihatkan oleh
tubuh manusia seperti sakit kepala, tegang pada leher, sakit perut mungkin lebih
dapat dipercaya dalam mengindikasikan bahwa individu perlu mengubah tingkah
lakunya. Perls percaya bahwa kesadaran (Awareness) saja bila menjadi
“Obat” bagi permasalah individu. Dengan kesadaran penuh, individu dapat
mengembangkan pengaturan diri (Self Regulation) dan dapat mengontrol
dirinya (Thompson et. Al. 2004, p 184).
Pendekatan Gestalt berpendapat bahwa
individu yang sehat secara mental adalah :[7]
o
Individu
yang dapat mempertahankan kesadaran tanpa dipecah oleh berbagai stimulasi dari
lingkungan yang dapat mengganggu perhatian individu. Orang tersebut dapat
secara penuh dan jelas mengalami dan mengenali kebutuhannya dan alternatif
potensi lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
o
Individu
yang dapat merasakan dan berbagi konflik pribadi dan frustasi tapi dengan
kesadaran dan konsentrasi yang tinggi tanpa ada percampuran dengan
fantasi-fantasi.
o
Individu
yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat diselesaikan dan tidak
dapat diselesaikan.
o
Individu
yang dapat mengambil tanggung jawab atas hidupnya.
o
Individu
yang dapat berfokus pada suatu kebutuhan (The Figure) pada satu waktu
sambil menghubungkannya dengan kebutuhan yang lain (The groud), sehingga
ketika kebutuhan itu terpenuhi disebut juga Gestalt yang sudah lengkap.
Menurut Gestalt, individu menyebabkan dirinya terjerumus pada
masalah-masalah tambahan, karena tidak mengatasi kehidupannya dengan baik pada
kategori dibawah ini:[8]
o
Kurang
kontak dengan lingkungan, yaitu individu menjadi kaku dan memutus hubungan
antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan.
o
Confluence,
yaitu individu yang terlalu banyak memasukkan nilai-nilai dirinya
kepada orang lain atau memasukkan nila-nilai lingkungan pada dirinya, sehingga
mereka kehilangan pijakan dirinya dan kemudian lingkungan yang mengontrol
dirinya.
o
Unfinished
Business, yaitu orang yang memiliki kebutuhan
yang tidak terpenuhi, perasaan yang tidak di ekspresikan dan situasi yang belum
selesai yang mengganggu perhatiannya (Yang mungkin di manifestasikan dalam
mimpi).
o
Fragmentasi,
yaitu orang yang mencoba untuk mnemukan atau menolak kebutuhannya seperti
kebutuhan agresi.
o
Topdog
atau Underdog: orang yang
mengalami perpecahan pada kepribadiannya yaitu antara apa yang mereka pikir
“Harus” dilakukan (Topdog) dan apa yang mereka “Inginkan” (Underdog).
o
Polaritas
atau dikotomi, yaitu orang yang cenderung untuk “ bingung dan tidak dapat
berkata-kata (Speechelss)” pada saat terjadi dikotomi dalam dirinya
seperti antara tubuh dan pikiran (Body and mind), antara diri dan
lingkungan (Self external world), antara emosi dan kenyataan (Emotion
Reality). Dan sebagainya (Tompson et. Al. 2004, p.185-186).
D.
TUJUAN KONSELING
Tujuan konseling Gestalt adalah
menciptakan eksperimen dengan konseling untuk membantu konseling :[9]
o
Mencapai
kesadaran atas apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya.
Kesadaran itu termasuk didalamnya, insight, penerimaan diri, pengetahuan
tentang lingkungan, tanggung jawab terhadap pilihannya.
o
Kemampuan
untuk melakukan kontak dengan orang lain.
o
Memiliki
kemampuan mengenali, menerima mengekspresikan perasaan, pikiran dan keyakinan
dirinya.
E.
PERAN DAN FUNGSI KONSELOR
Dalam proses konseling Gestalt, konselor memiliki peran dan fungsi
yang unik, yaitu:
o
Konselor
memfokuskan pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh, hambatan energi, dan
hambatan untuk mencapai kesadaran yang ada pada konseli.
o
Konselor
adalah “Artistic Participant” yang memiliki peranan dalam menciptakan hidup
baru konseli.
o
Konselor
berperan sebagai projection screen.
o
Konselor
harus dapat membaca dan menginterprestasi bentuk-bentuk bahasa yang dilontarkan
konseli.
F.
TAHAP-TAHAP KONSELING
Joyce dan sill (2011) mengatakan bahwa proses konseling gestalt
terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel. Tiap-tiap tahap memiliki
prioritas dan tujuan tertentu yang membantu konselor dalam mengorganisasikan
proses konseling. Tahap-tahap tersebut yaitu:
1.
Tahap
Pertama
Pada
tahap ini konselor menggunakan metodhe fenomenologi untuk meningkatkan
kesadaran konseli, menciptakan hubungan dialogis mendorong keberfungsian
konseli secara sehat dan menstimulasi konseli untuk mengembangkan dukungan
pribadi dan lingkungannya (Joyce & sill 2001 dalam safaria 2005, p. 84-85).
Secara
garis besar, proses yang dilalui dalam konseling tahap pertama adalah:
·
Menciptakan
tempat yang aman dan nyaman (safe container) untuk proses konseling.
·
Mengembagkan
hubungan kolaboratif.
·
Mengumpulkan
data, pengalaman konseli, dan keseluruhan gambaran kepribadiannya dengan
pendekatan fenomenologis.
·
Meningkatkan
kesadaran dan tanggungjawab pribadi konseli.
·
Membangun
sebuah hubungan yang dialogis.
·
Meningkatkan
self-support, khususnya dengan konseli yang memiliki proses diri yang rentan.
·
Mengidentifikasi
dan mengklarifkasikan kebutuhan-kebutuhan konseli dan tema-tema masalah yang
muncul.
·
Membuat
prioritas dan kesimpulan diagnosis terhadap konseli.
·
Mempertimbangkan
isu-isu budaya dan isu-isu lainnya yang memiliki perbedaan potensial antara
konselor dan konseli serta mempengaruhi proses konseling.
2.
Tahap
kedua
Pada tahap ini proses konseling berlanjut pada strategi-strategi
yang lebih spesifik. Konseli mengekplorasi berbagai introyeksi, berbagai
modifikasi kontak yang dilakukan dan unfinished business. Peran konselor adalah
secara berkelanjutan mendorong dan membangkitkan keberanian konseli
mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosi-emosinya dalam rangka katarsis dan
menawarkan konseli untuk melakukan berbagai eksperimentasi untuk meningkatkan
kesadarannya, tanggungjawab pribadi dan memahami unfinished business. Adapun
proses tahap ini meliputi:
·
Mengatasi
urusan yang tidak selesai.
·
Mengatasi
ekspresi-ekspresi konseli atau proses katarsis.
·
Melakukan
eksperimentasi perilaku baru dan memperluas pilihan-pilihan bagi konseli.
·
Terlibat
terus menerus dalam hubungan yang dialogis (Joyce & sill 2001 dalam safaria
2005, p. 85-86).
3.
Tahap
ketiga
Pada tahap ini ditandai aktivitas yang dilakukan konseli dengan
mengekplorasi masalahnya secara mendalam dan membuat perubahan-perubahan yang
yang cukup signifikan. Tahap ini merupakan fase tersulit karena pada tahapini
konseli menghadapi kecemasan-keceasannya sendiri, ketidakpastian dan
ketakutan-ketakutan yang selama ini terpendam dalam diri. Selain itu, konseli
menghadapi perasaan terancam yang kuat disertai dengan perasaan kehilangan
harapan untuk hidup yang lebih mapan. Pada fase ini konselor memberikan
dukungan dan motivasi berusaha memberikan keyakinan ketika konseli cemas dan
ragu-ragu menghadapi masalahnya (Joyce & sill 2001 dalam safaria 2005, p.
86-87).
Pada
tahap ini terdapat beberapa langkah yang dilalui, yaitu:
·
Menghadapi
hal-hal yang tidak diketahui dan mempercayai regulasi diri organismik klien
untuk berkembang.
·
Memiliki
kembali bagian dari diri konseli yang tadinya hilang atau tidak diakui.
·
Mengalami
sebuah hubungan perbaikan yang terus-menerus berkembang (Joyce & sill 2001
dalam safaria 2005, p. 87).
4.
Tahap
keempat
Pada tahap ini konseli sudah mulai dapat mengatasi krisis-krisis
yang diekplorasi sebelumnya dan mulai mengintegrasikan keseluruhan diri.
Penglaman dan emosi-emosinya dalam perspektif yang baru. Konseli telah mampu
menerima ketidakpastian, kecemasan dan ketakutannya, serta menerima
tanggungjawab atas kehidupannya sendiri. Tahap ini terdiri dari beberapa
langkah, diantaranya:
·
Membentuk
kembali pola-pola hidup dalam bimbingan pemahaman baru dan insight baru
·
Menerima
ketidakpastian dan kecemasan yang dapat menghasilakan makna-makna baru.
·
Menerima
tanggungjawab untuk hidup. (Joyce & sill 2001 dalam safaria 2005, p. 88).
5.
Tahap
kelima
Pada tahap ini konseli siap untuk memulai kehidupan secara mandiri
tanpa supervisi konselor. Tahap pengakhiran ditandai proses sebagai berikut:
·
Berusaha
untuk melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan konseling yang telah
selesai.
·
Memberikan
proses pembahasan kembali isu-isu yang ada.
·
Merayakan
apa yang telah dicapai.
·
Menerima
apa yang belum tercapai.
·
Melakukan
antisipasi dan perencanaan terhadap krisis dimasa depan. (Joyce & sill 2001
dalam safaria 2005, p. 89)
Hubungan antara
konselor dan konseli adalah aspek yang paling penting dalam konseling. Dialog
eksistensial adalah bagian yang esensial dalam metode terapi gestalt dan
sebagai manifestasi dari perspektif eksistensial dalam hubungan konseling,
hubungan tumbuh melalui kontak. Terapi gestalt bekerja dengan menggunakan
dialog dibandingkan dengan memanipulasi konseli untuk mencapai tujuan konseling.
Hubungan terapeutik terapi gestalt menekankan pada empat karakteristik dialog,
yaitu:
1)
Inklusi
Inklusi adalah menempatkan individu sepenuhnya dalam pengalaman
orang lain tanpa menilai, menganalisis, dan menginterprestasi selagi secara
simultan mempertahankan perasaan individu, kemandirian individu. Pendekatan ini
adalah aplikasi eksistensial dan interpersonal dari fenomenologi. Inklusi
mempersiapkan lingkungan yang aman untuk konseli sehingga membantu mempertajam
kesadaran konseli. (Yotnef 1993).
2)
Kehadiran
Konselor
menggunakan pendekatan gestalt mengekspresikan dirinya kepada konseli, pada
umumnya, konselor memperlihatkan perasaan dan pengalaman pribadi, serta
pemikiran dari proses konseling untuk membantu konseli belajar tentang
kepercayaan dan menggunakan pengalaman untuk meningkatkan kesadarannya. (Yotnef
1993).
3)
Komitmen
untuk dialog
Komitmen
untuk dialog didapatkan melalui kontak. Kontak bukan sekedar hubungan dua
orang, tetapi kontak adalah sesuatu yang terjadi dalam interaksi antara dua
orang konselor dan konseli, konselor gesalt menciptakan kontak yang egaliter
antara konselor dan konseli, bukan memanipulasi kliennya dengan mengontrol
tujuan konseling. (yotnef 1993).
4)
Dialog
yang hidup
Dialog
adalah segala sesuatu yang dilakukan, bukan sekedar dibicarakan. Lived
menekankan pada kesenangan dan kepentingan diri melakukan eksperimen, jenis
dialog dapat berupa tarian, lagu, kata-kata atau berbagai bentuk yang dapat
mengekpresikan dan menggerakkan energi konseli. (Yotnef 1993).
G.
TEKNIK-TEKNIK KONSELING
Terdapat beberapa teknik bahasa, permainan, dan fantasi yang dapat
digunakan untuk mempertahankan orientasi pada masa sekarang (present-time
orientation) dalam wawancara konseling, antara lain :[10]
Ø KURSI KOSONG (Empty Chair)
Teknik
kursi kosong bertujuan untuk membantu mengatasi konflik interpersonal dari
intrapersonal (Thompson,et.al.,2004,p. 191). Teknik ini membantu konseli untuk
keluar dari proses introyeksi. Pada teknik konselor menggunakan dua kursi.
Konselor meminta konseli untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai topdog.
Kemudian berpindah ke kursi lainya dan menjadi underdog. Dialog dilakukan
berkesinambungan pada dua peran tersebut. Dengan teknik ini, introyeksi akan
terlihat dan konseli dapat merasakan konflik yang ia rasakan secara lebih real.
Konflik tersebut akan dapat diselesaikan dengan penerimaan dan integrasi antara
kedua peran tersebut. Teknik ini membantu konseli untuk merasakan perasaanya
tentang konflik perasaan dengan mengalami secara penuh (Corey, 1986,p. 136).
Teknik
kursi kosong merupakan intervensi yang kuat, yang dapat digunakan untuk
membantu konseli segala umur yang memiliki konflik dengan orang ketiga yang
tidak hadir dalam proses konseling. Contohnya konflik dengan saudara kandung,
guru, orang tua, teman, atasan, dan pasangan. Konseli diajak berbicara secara
langsung dengan orang yang menjadi sumber konflik seperti orang tersebut hadir
di kursi kosong. Hal ini lebih baik dilakukan untuk mengatasi masalah
dibandingkan konseling di ajak bercerita tentang seberapa jahat, menyakitkan
dan tidak menyenangkanya orang yang menjadi sumber konflik. Kursi kosong
digunakan untuk menyelesaikan unfinished business dengan orang yang dicintai.
Konseli diminta berbicara dengan orang yang dicintai yang telah meninggalkanya
seperti orang tersebut hadir di kursi kosong. Pelaksanaan teknik ini dapat
berupa monolog di mana orang yang di ajak berbicara di kursi kosong tidak
menjawab, atau dapat berupa dialog di mana orang tersebut menjawab seperti yang
mungkin di jawab oleh orang tersebut (Thompson, et.al,. 2004 p. 191).
Contoh :
Anak yang
merasa bersalah pada ayahnya yang sudah meninggal mungkin berkata pada ayahnya:
“pah aku selalu sayang sama papa tapi aku gak bisa ngomong ini”. Ayahnya
mungkin menjawab: “Nak. Walaupun kamu tidak mengatakanya, papa tau kamu sayang
sama papa” (Thompson, et.al,. 2004, p. 191).
Teknik ini
biasanya digunakan pada kasus-kasus seperti : (1) introyeksi diri orangtua
versus diri anak (2). Bagian diri yang bertanggung jawab versus bagian diri
yang impulsif (3). Orang yang puritan versus dengan orang yang ekspresif (4).
Orang yang agresif versus orang pasif (5). Diri yang otonom versus diri yang
tergantung (6). Anak baik versus anak nakal (7). Orang yang bekerja keras
versus orang yang menghindari pekerjaan (Corey, 1986, p. 136).
Greenbreg dan
Malcolm (2002) menjelaskan enam langkah dalam menggunakan teknik kursi kosng,
yaitu :[11]
·
Konseli
mengidentifikasi orang yang menjadi sumber unfinished business.
·
Konseli
merespon seperti yang ia yakini orang tersebut akan merespon.
·
Konseli
melakukan dialog sampai pada poin tercapainya resolusi untuk menyelesaikan unfinished
business.
·
Konseli
memahami unifinished business dari figure to ground dalam
kesadaran konseli (Thompson, et,al,. 2004, p. 192).
Ø Topdog Versus Underdog
Topdog adalah
perasaan marah bila sesuatu tidak sesuai nilai atau norma moral (righteous),
autoritarian, dan mengetahuiyang terbaik. Topdog adalah orang yang
menggunakan kekuatanya untuk menekan dan menakuti orang lain dan bekerja dengan
kata “kamu harus” dan “kamu tidak boleh”. Sementara itu, underdog manipulatif
dengan menjadi defensif, merengek dan menangis seperti bayi. Underdog
bekerja dengan kata “saya mau” dan mencari alasan seperti “saya sudah berusaha
keras”.[12]
Teknik ini
menggunakan dua kursi untuk membantu mengatasi konflik antara “yang saya
inginkan” dan “yang seharusnya”. Satu kursi menjadi topdog (yang
seharusnya) dan kursi yang lain menjadi underdog (yang saya inginkan).
Konseli dimintak untuk mengatakan argumen yang terbaik dengan posisi topdog
(yang seharusnya) dan pindah ke kursi underdog (yang saya inginkan).
Kemudian konseli diminta berargumen sampai mencapai poin dimana konseli
mencapai integrasi dari apa yang seharusnya (topdog) dan apa yang
diinginkan (underdog) (Thompson, et.al,. 2004, p. 190).
Ø Membuat Serial (making the rounds)
Membuat
serial adalah latihan gestalt yang melibatkan individu untuk berbicara atau
melakukan sesuatu kepada orang lain dalam kelompok. Tujuan teknik ini adalah
untuk melakukan konfrontasi, mengambil risiko, untuk membuka diri, melatih
tingkah laku baru, dan untuk melakukan perubahan (Corey, 1986, p. 137).
Contoh :
Individu yang
memiliki ketakutan untuk mempercayai orang lain. Konseli diminta untuk
mengatakan kepada anggota kelompok yang lain dengan datang kepada mereka satu
persatu sambil berkata “saya tidak mempercayai kamu karena.......” (Corey,
1986, p. 137).
Ø “Saya bertanggung jawab atas.....” (“I Take Responsibility
for.....”).
Teknik
bertujuan membantu konseli untuk menyadari dan mempersonalisasi perasaan dan
tinggkah lakunya serta mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tingkah
lakunya. Konseli diminta untuk mengisi bagian kosng sebagai cara mengevaluasi
tanggung jawab personal dan bagaimana konseli mengatur hidupnya.
Contoh:
Konseli diminta
untuk berkata: “saya merasa kesepian dan saya merasa bertanggung jawab atas
perasaan saya”. Latihan ini dapat membuka mata konseli yang biasanya cenderung
melihat orang lain sebagai sumber perasaan yang baik dan buruk (Thompson,
et.al,. 2004, p. 191 ; Corey,1986, p. 137).
Ø Bermain Proyeksi (Playing Projection)
Dinamika
proyeksi adalah individu yang melihat secara jelas kepada oarang lain apa yang
tidak ingin dilihat dan menerima dalam dirinya. Individu tersebut berusaha
keras untuk menolak perasaanya dan menyalahkan orang lain atas kejadian yang
terjadi pada dirinya. Teknik ini biasanya dilakukan dalam seting kelompok,
namun bisa juga diberikan pada seting individual (Corey, 1986, p. 138). Pada
teknik ini, konselor meminta konseli yang sering berkata bahwa ia tidak dapat
mempercayai orang lain untuk bermain pearan sebagai orang yang tidak bisa
dipercaya. Dengan bermain peran, konseli tersebut dapat diharapkan menemukan
tingkat ketidakpercayaanya kepada orang lain. Dengan kata lain, konselor meminta
konseling untuk berusaha mengukur berdasarkan kalimat yang ia lontarkan tentang
seberapa besar dan berat tingkat ketidakpercayaanya terhadap orang lain (Corey,
1986, p. 138).
Ø Pembalikan ( Reversal Technique)
Asumsi
teknik ini adalah bahwa gejala dan tingkah laku tertentu sering kali
merepresentasikan implus-implus yang di tekan dan laten yang ada dalam diri
individu. Teknik ini bertujuan untuk mengajak konseli untuk mengambil resiko
terhadap ketakutan, kecemasan dan melakukan kontak dengan bagian dirinya yang
selama ini ditolak dan ditekan. Untuk itu, konselor meminta konseli untuk
melakukan tingkah laku yang kebalikan dari apa yang iaya katakan.
Contoh :
Konseli
mengatakan bahwa ia telah tersiksa karena ia terlalu pemalu dan tidak memiliki
kepercayaan diri. Konselor menyuru konseli tersebut untuk bertingkah laku
seperti orang yang penuh percaya diri (Corey, 1986, p. 138).
Ø Latihan Gladiresik (The Rehearasal Experiment)
Menurut
perls, pikiran individu banyak berulang-ulang. Individu cenderung mengulang fantasi-fantasi
yang individu rasa bahwa itu adalah harapan-harapan dari lingkunganya,.
Sehingga ketika individu barada dalam lingkungan tersebut, ia menjadi
ketakutan, cemas karena ia tidak akan dapat menampilkan apa yang diharapkan
oleh lingkungan. Pengulangan internal (internal rehearsal) ini
menghabiskan banyak energi psikis individu dan dapat menghambat perkembangan
individu. Teknik ini dapat diterapkan melalui permainan sharing. Individu
diminta kepada orang lain tentang fantasi-fantasi yang sering ia katakan dan
ulang-ulang secara internal dalam dirinya. Dengan mengatakanya secara verbal
kepada orang lain, konseli dapat membedakan fantasi dan kenyataan serta dapat
menguji coba tingkat ekspektasi orang lain. Hal ini membuat konseli dapat
mengukur seberapa besar ia ingin diterima dan disukai orang lain, serta
seberapa besar usaha yang harus dilakukan untuk mencapainya (Corey, 1986, p.
138).
Ø Latihan Melebih-Lebihkan (The Exaggeration Experiment)
Teknik
ini membantu konseli untuk menjadi lebih sadar pada tanda-tanda bahasa tubuh.
Gerakan, postur tubuh, expresi wajah dan gerakan tubuh menjadi sarana
komunikasi yang memiliki makna yang signifikan. Pada teknik ini, konseli
diminta untuk mengulangi kembali secara berlebihan gerakan dan bahasa tubuh
yang biasa dilakukan seiring dengan tingkah laku tertentu.
Contoh:
Konseli yang
selalu tersenyum ketika menghadapi masalah, kecemasan dan kesedihan. Konselor
meminta konseli untuk berdiri dan tersenyum setiap kali konselor brtanya atau
berkata tentang hal-hal yang menyedihkan bagi konseli (Corey, 1986,p. 139).
Ø Tetap Pada Perasaan (Staying With the Feeling)
Sebagian
besar konseli cenderung melarikan diri dari perasaan yang tidak menyenangkan
dan menghindari dari situasi yang mengarah kepada perasaan yang tidak menyenangkan.
Pada teknik ini konselor meminta kepada konseli untuk tetap pada perasaan
ketakutan dan kesakitan dan merasakanya pada proses konseling.
Konselor
mendorang konseli untuk merasakan dan melakukan kegiatan yang cenderung
dihindarinya. Dengan menghadapi, mengkonfrontasi, dan mengalamiperasaan tidak
saja dapat membuat konseli menjadi berani, tetapi juga membangkitkan keinginan
untuk mengatasi kesakitan. Hal ini di mungkinkan karena konseli membuka diri
untuk mengalami kesakitan dan membuka jalan untuk melangkah ke arah yang lebih
positif (Corey, 1986,p. 139).
Ø Bahasa “Saya” (“I” Language)
Konselor
mendorong kepada konseli untuk menggunakan kata “saya” (I) ketika
konseli mengeneralisasikan kata “kamu” (You) dalam berbicara. Contohnya
ketika konseli berkata: “kamu tau kan susah sekali untuk mengerti matematika”.
Konseli di minta mengganti kamu dengan saya, “saya tau bahwa saya tidak
mengerti metematika”. Ketika konseli berusaha mengganti dengan kata “ saya”
diumpamakan seperti melihat sepasang sepatu dan bagaimana pasangan itu menjadi
serasi. Teknik ini bertujuan untuk membantu konseli bertanggung jawab atas
perasaan, pikiran dan tingkah lakunya. (thompson, ea.al,. 2004, p. 188).
BAB III
KESIMPULAN
·
Pendekatan
Gestalt termasuk dalam terapi phenomenological-existential yang di
prakarsai oleh frederick (Fritz) and laura perls pada tahun 1940-an.
·
Pendekatan
Gestalt berfokus pada proses (Whatb is happening) daripada isi (what
is being discussed).
·
Pendekatan
gestalt dipengaruhi oleh perspektif fenomenologi (the phenomenological
perspective), perspektif teori medan (the field theory perspective),
perspektif eksistential (the existential perspective).
·
Individu
yang sehat secara mental adalah individu yang dapat mempertahankan kesadaran,
yang dapat merasakan dan berbagai konflik pribadi dan frustasi dengan kesadaran
dan konsentrasi yang tinggi, yang dapat membedakan konflik dan masalah yang
dapat diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan, yang dapat mengambil tanggung
jawab, yang dapat berfokus pada satu kebutuhan (the figure) pada satu
waktu sambil menghubungkanya dengan kebutuhan yang lain (the ground).
·
Individu yang sehat adalah individu yang dapat
melengkapi siklus gestalt. Bila individu tidak dapat menggenapi siklus
tersebut, maka individu memiliki beberapa masalah yang berkaitan dengan lapisan
neurosis, urusan yang tidak selesai (unfinished business), dan berbagai
bentuk pertahanan diri (modes of defense).
·
Kecemasan
yang dialami individu diakibatkan oleh harapan katastropik (catastrophic
expectation), yaitu kecemasan akan hal-hal buruk yang akan trjadi di masa
yang akan datang, dan harapan anastropik (anastropic expectation) yaitu
harapan-harapan yang berlebihan bahwa hal-hal yang baik dan menyenangkan yang
akan terjadi dimasa depan.
·
Individu
memiliki lima lapisan neurosis dalam dirinya yang diumpamakan seperti kulit
bawang yang berlapis-lapis, yaitu the pony layer : the phobic layer, the
impasse layer, the implovise layer, dan the explosive layer.
·
Individu
memiliki lima bentuk pertahanan diri (modes of defense) yang beroperasi
dalam dirinya, yaitu (1). Introyeksi (introjection) (2). Proyeksi (projection)
(3). Retrofleksi (retroflection) (4). Deflection and (5). Confluence
and isolation.
·
Konselor
berperan dalam memfokuskan pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh, hambatan
energi, dan hambatan untuk mencapai kesadaran yang ada pada konseli.
·
Empat
karakteristik dialog dalam hubungan terapeutik yaitu inklusi (inclusion),
kehadiran (presence), komitmen untuk dialog (commitment to dialogue),
dialog yang hidup (dialogue is livid).
·
Teknik-teknik
yang digunakan dalam konseling gestalt antara lain: kursi kosong (empty
chair),topdog versus underdog, membuat serial (making the rounds),
“saya bertanggung jawab atas......” (“I take responcibility for....”),
bermain proyeksi (playing projection), pembalikan (reversal technique),
latihan gladiresik (the reharseal experiment), latihan melebih-lebihkan
(the exaggeration experiment), tetap pada perasaan (staying with the
feeling), bahasa “saya” (“I” language)
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami
Dasar-dasar Konseling, Jakarta : Kencana
Corey, G. 2005. Teori dan Praktek
Konseling dan Psikotrapi. Bandung : PT. Rafika Aditama
Wahyuni, Eka dan Antina Komalasari, 2001. Teori
dan Tehnik Konseling. Jakarta : PT. Indeks.
Triantoro Safari, 2005, Teori dan Konseling Gestalt,
Yogyakarta : Graha Ilmu
[2] Corey, G. Teori dan Praktek Konseling dan Psikotrapi.(Bandung : PT. Rafika Aditama,
2005), Hal.129.
[3] Wahyuni, Eka dan Antina Komalasari, Teori dan Tehnik Konseling. (Jakarta : PT. Indeks, 2001). Hal.68
[4] Triantoro
Safari, Teori dan konseling Gestalt, (Yogyakarta: PT.Graha ilmu,2005).
Hal. 75
[5] Ibid., Hal 76
[6] Corey, G. Teori dan Praktek Konseling dan
Psikotrapi.(Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005), Hal.130
[7] Wahyuni, Eka dan Antina Komalasari, Teori dan Tehnik Konseling. (Jakarta : PT. Indeks, 2001). Hal.189-190
[8] Ibid., Hal.
191
[10] Corey, G. Teori dan Praktek Konseling dan
Psikotrapi.(Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005), Hal.150
[11] Ibid., Hal.
151
[12] Ibid., Hal.
152
Tidak ada komentar:
Posting Komentar