Pages - Menu

Selasa, 06 November 2012

Gestalt


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Teori Gestalt merupakan teori terhadap manusia dipengaruhi oleh filsafat eksistensial dan fenomenologi. Asumsi dasar pendekatan Gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya. Gestalt berpendapat bahwa individu memilik masalah karena menghindari masalah. Oleh karena itu pendekatan Gestalt mempersiapkan individu dengan intervensi dan tantangan untuk membantu konseling menapai integrasi diri dan menjadi lebih autentik.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana Sejarah pendekatan Gestalt?
2.      Bagaimana Landasan filosofis  Gestalt?
3.      Apa saja tujuan konseling dalam pendekatan gestalt?
4.      Apa saja peran dan fungsi konselor dalam pendekatan gestalt?
5.      Bagaimana tehnik-tehnik dalam pendekatan Gestalt?

C.     TUJUAN
1.      Untuk Mengetahui Tentang Sejarah Pendekatan Gestalt
2.      Untuk Mengetahui Tentang Landasan Filosofis Gestalt
3.      Untuk Mengetahui Tentang Apa Saja Tujuan Konseling Dalam Pendekatan Gestalt
4.      Untuk Mengetahui Tentang Peran Dan Fungsi Konselor Dalam Pendekatan Gestalt
5.      Untuk Mengetahui Tentang Tehnik-Tehnik Dalam Pendekatan Gestalt






BAB II
PEMBAHASAN

A.    SEJARAH PENDEKATAN GESTALT
Pendekatan Gestalt adalah terapi yang termasuk dalam terapi phenomenological-existential yang di prakarsai oleh frederick (Fritz) and Laura Perls pada tahun 1940-an. Pendekatan ini mengajarkan konselor dan konseling metode kesadaran fenomenologi, yaitu bagaimana individu memahami, merasakan, dan bertindak serta membedakannya dengan interprestasi terhadap suatu kejadian dan pengalaman masa lalu. Alasan-alasan dan interprestasi di anggap sebagai sesuatu yang kurang reliabel dibandingkan hal yang langsung diterima dan dirasakan oleh individu. Pendekatan Gestalt berfokus pada proses (What is Happening) daripada isi (What is being discussed). Penekanannya pada apa yang dilakukan, dipikirkan, dan dirasakan pada saat ini daripada yang sudah, yang mungkin, dan yang harus dilakukan, di pikirkan dan dirasakan.[1]
Sejarah pendekatan Gestalt di awali sejak tahun 1926 ketika perls mendapatkan gelar medical doctor (M.D) pergi ke frankfrut-am-main dan menjadi asisten Kurt Goldstein di the institute for  brain Damaged Soldiers. Di sinilah perls bekerjasama dengan profesor goldsteins dan Adhemar Gelb serta ia bertemu dengan calon isterinya, Laura. Pada waktu itu frankfrut –am-main adalah pusat pergolakan intelektual dan perls secara langsung dan tidak langsung terekspos dengan pengaruh filsafat eksistensial dan psikoanalisis yang menjadi akar pemikirannya dalam mengembangkan pendekatan Gestalt (Corey, 1986, p. 120; Yotnef 1993).[2]
Terdapat tiga tokoh yang mempengaruhi perkembangan intelektual perls hingga menghasilkan pendekatan Gestalt. Pertama, filsuf Sigmund Friedlander, dari dialah perls mendapatkan konsep tentang differential thinking dan creative indiference, yang ia sebutkan dalam buku pertamanya, Ego, Hunger and Aggressipn (1947). Kedua Perls dipengaruhi oleh jan Smuts, perdana mentri afrika utara dimana perls pindah bersama keluarganya ketika melarikan diri dari Nazi German ketika Nazi menguasai belanda. Sebelum menjadi perdana menteri, Smuts telah menulis buku utama tentang Holism and Evolution yang menjadi acuan perspektif Gestalt. Ketiga Alfred Korzybski, seorang ahli semantik yang berpengaruh pada perkembangan pemikiran intelektual perls (Yotnef 1993).
Pendekatan Gestalt di mulai ketika perls menulis Ego, Hunger and Aggression pada tahun 1941-1942. Terbitan pertama buku ini pada tahun 1946 di afrika utara yang berjudul A Revision of Freud’s and Method. Kemudian buku ini diterbitkan dengan judul The Beginning of Gestalt Therapy pada tahun 1966. Kata “Gestalt Therapy” pertama kali digunakan sebagai judul buku yang ditulis oleh fraderick perls, Ralph hefferline and paul goodman pada tahun 1951. Tak lama setelah dibentunya the New York institute for Gestalt therapy, yang bermarkas di apertemen milik fritz and laura perls di new york city (corey, 1986,P.120). apertemen mereka digunakan untuk seminar, workshop and diskusi kelompok para tokoh-tokoh yang mempelajari Gestalt, diantaranya paul weisz, Lotte weidenfeld, Buck eastman,paul goodman, isadore from, elliot shapiro, leo chalfen, iris sanguilano, james simkin dan kenneth A. Fisher.[3]
Pada tahun 1950-an, berbagai workshop dan diskusi secara intensif dilakukan dibanyak negara bagian diamerika serikat dan kemudian pada tahun 1955, kelompok diskusi ini mendirikan the Gestalt institute of cleveland (Yotnef 1993). Selanjutnya, pada tahun 1960 fritz perls pindah ke west coast. Walter kempler dan james simkin menawarkan pelatihan Gestalt therapy yang pertama di the Esalen institute ketika musim panas tahun 1964. Pelatihan ini dilanjutkan dibawah kepemimpinan perls dan simkin sampai tahun 1968. Setelah perls pindah ke kanada, simkin bersama dengan irma shepherd, robet w. Resnick Robert L.Martin, jack Downing dan Jhon Enright, meneruskan pelatihan terapi gestalt di Esalen hingga tahun 1970.[4]
Pada saat ini terdapat setidaknya 62 institut Gestalt terapi di seluruh dunia. The Gestalt journal didedikasikan untuk mempublikasikan penelitian yang bertema Gestalt therapy (Yotnef 1993). Walaupun pada awalnya perls adalah seorang psikoanalisis, ia mengkritik pendekatan psikoanalisis freud. Pertama, pendekatan psikoanalisis berifat mekanistik, sedangkan Gestalt melihat manusia secara holistik. Gestalt melihat setiap element kepribadian berhubungan dengan keseluruhan kepribadian. Kedua, Gestalt menekankan pada kesadaran di sini dan sekarang (here and now) dan menekankan pentingnya mengevaluasi kondisi dn situasi konseli sekarang (Corey, 1986, P. 120). Ketiga, Gestalt terapi berfokus pada proses sementara psikoanalisis berfokus pada isi kepribadian. Keempat, proses konseling bertujuan mencapai pemahaman diri tentang apa yang mereka lakukan pada saat ini, sementara psikoanalisis berfokus pada mengapa individu bertingkah laku (why they behave as they do).

B.     LANDASAN FILOSOFIS
1)      Perspektif Fenomenologi (The Fenomenological Perspektive)
Fenomenologi adalah disiplin ilmu yang bertujuan yang membantu individu mengambil jarak dari cara berfikir yang biasa dilakukan individu, sehingga mereka dapat mengatakan perbedaan apa yang sebenarnya dirasakan pada situasi sekarang dan apa hanya sebagai residu masalalu (Idhe, 1977 dalam Yotnef1993). Pendekatan Gestalt memperlakukan hal-hal yang secara subyektif dirasakan individu pada saat ini, dan apa yang secara obyektif terobservasi sebagai data yang nyata dan penting.[5]
2)      Perspektif Teori Medan (The Field Theory Perspektive)
Landasan ilmiyah perspektif fenomenologi Gestalt adalah teori medan (Field Theory). Field Theory adalah metode untuk mengeksplorasi apa yang di deskripsikan keseluruhan (the whole field) kejadian yang sedang dirasakan bukan menganalisis kejadian berdasarkan bagian-bagian tertentu (Yotnef, 1993). Teori fenomenologi medan dapat didefinisikan sebagai apa yang diobservasi oleh observer dan, yang bermakna adalah ketika individu mengetahui kerangka berfikir (The frame of refrence) observer (Yotnef, 1993). Pendekatan medan dan adalah pendekatan yang deskriptif, bukan spekulatif dan interpretatif. Penekanannya pada mengobservasi, mendiskripsikan, dan menjelaskan struktur yang diobservasi (Yotnef, 1993).
3)      Perspektif Eksistensial (The Existential Perspective)
Exestentialism adalah dasar dari metode fenomenologi yang berfokus pada eksistensi individu, hubungan dengan orang lain serta kesenangan dan kesakitan yang langsung dirasakan (Yotnef 1993). Sebagian besar manusia berfikir secara konvensional yaitu, cara berfikir yang ambigu atau menghindari pemahaman dan pengakuan tentang bagaimana dunianya. Membohongi diri sendiri (self deception) adalah dasar dari ketidakotentikan (inauthencity), yaitu hidup tidak berdasarkan pada kebenaran diri yang menyeret indvidu memiliki perasaan takut, bersalah, dan cemas. Terapi Gestalt memberikan strategi untuk menjadi pribadi yang autentik dan bertanggung jawab secara bermakna kepada diri sendiri. Dengan menjadi sadar, individu memiliki kemampuan untuk memilih dan mengorganisasikan eksistensi dirinya secara bermakna (Yotnef, 1993).

C.    PANDANGAN TENTANG MANUSIA
Pandangan pendekatan Gestalt terhadap manusia dipengaruhi oleh filsafat eksistensial dan fenomenologi. Asumsi dasar pendekatan Gestalt tentang manusia adalah bahwa individu dapat mengatasi sendiri permasalahannya dalam hidup, terutama bila mereka menggunakan kesadaran akan pengalaman yang sedang dialami dan dunia sekitarnya. Gestalt berpendapat bahwa individu memilik masalah karena menghindari masalah. Oleh karena itu pendekatan Gestalt mempersiapkan individu dengan intervensi dan tantangan untuk membantu konseling menapai integrasi diri dan menjadi lebih autentik.[6]
Perls berkata individu akan lebih baik bila mereka kehilangan pikiran mereka dan beralih ke sensasi, artinya bahwa badan dan perasaan adalah indikator yang lebih baik dan bisa dipercaya untuk melihat kondisi psikologis individu. Tanda-tanda yang diperlihatkan oleh tubuh manusia seperti sakit kepala, tegang pada leher, sakit perut mungkin lebih dapat dipercaya dalam mengindikasikan bahwa individu perlu mengubah tingkah lakunya. Perls percaya bahwa kesadaran (Awareness) saja bila menjadi “Obat” bagi permasalah individu. Dengan kesadaran penuh, individu dapat mengembangkan pengaturan diri (Self Regulation) dan dapat mengontrol dirinya (Thompson et. Al. 2004, p 184).
Pendekatan Gestalt berpendapat bahwa individu yang sehat secara mental adalah :[7]
o   Individu yang dapat mempertahankan kesadaran tanpa dipecah oleh berbagai stimulasi dari lingkungan yang dapat mengganggu perhatian individu. Orang tersebut dapat secara penuh dan jelas mengalami dan mengenali kebutuhannya dan alternatif potensi lingkungan untuk memenuhi kebutuhannya.
o   Individu yang dapat merasakan dan berbagi konflik pribadi dan frustasi tapi dengan kesadaran dan konsentrasi yang tinggi tanpa ada percampuran dengan fantasi-fantasi.
o   Individu yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan.
o   Individu yang dapat mengambil tanggung jawab atas hidupnya.
o   Individu yang dapat berfokus pada suatu kebutuhan (The Figure) pada satu waktu sambil menghubungkannya dengan kebutuhan yang lain (The groud), sehingga ketika kebutuhan itu terpenuhi disebut juga Gestalt yang sudah lengkap.
Menurut Gestalt, individu menyebabkan dirinya terjerumus pada masalah-masalah tambahan, karena tidak mengatasi kehidupannya dengan baik pada kategori dibawah ini:[8]
o   Kurang kontak dengan lingkungan, yaitu individu menjadi kaku dan memutus hubungan antara dirinya dengan orang lain dan lingkungan.
o   Confluence, yaitu individu yang terlalu banyak memasukkan nilai-nilai dirinya kepada orang lain atau memasukkan nila-nilai lingkungan pada dirinya, sehingga mereka kehilangan pijakan dirinya dan kemudian lingkungan yang mengontrol dirinya.
o   Unfinished Business, yaitu orang yang memiliki kebutuhan yang tidak terpenuhi, perasaan yang tidak di ekspresikan dan situasi yang belum selesai yang mengganggu perhatiannya (Yang mungkin di manifestasikan dalam mimpi).
o   Fragmentasi, yaitu orang yang mencoba untuk mnemukan atau menolak kebutuhannya seperti kebutuhan agresi.
o   Topdog atau Underdog: orang yang mengalami perpecahan pada kepribadiannya yaitu antara apa yang mereka pikir “Harus” dilakukan (Topdog) dan apa yang mereka “Inginkan” (Underdog).
o   Polaritas atau dikotomi, yaitu orang yang cenderung untuk “ bingung dan tidak dapat berkata-kata (Speechelss)” pada saat terjadi dikotomi dalam dirinya seperti antara tubuh dan pikiran (Body and mind), antara diri dan lingkungan (Self external world), antara emosi dan kenyataan (Emotion Reality). Dan sebagainya (Tompson et. Al. 2004, p.185-186).

D.    TUJUAN KONSELING
Tujuan konseling Gestalt adalah menciptakan eksperimen dengan konseling untuk membantu konseling :[9]
o   Mencapai kesadaran atas apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya. Kesadaran itu termasuk didalamnya, insight, penerimaan diri, pengetahuan tentang lingkungan, tanggung jawab terhadap pilihannya.
o   Kemampuan untuk melakukan kontak dengan orang lain.
o   Memiliki kemampuan mengenali, menerima mengekspresikan perasaan, pikiran dan keyakinan dirinya.

E.     PERAN DAN FUNGSI KONSELOR
Dalam proses konseling Gestalt, konselor memiliki peran dan fungsi yang unik, yaitu:
o   Konselor memfokuskan pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh, hambatan energi, dan hambatan untuk mencapai kesadaran yang ada pada konseli.
o   Konselor adalah “Artistic Participant” yang memiliki peranan dalam menciptakan hidup baru konseli.
o   Konselor berperan sebagai projection screen.
o   Konselor harus dapat membaca dan menginterprestasi bentuk-bentuk bahasa yang dilontarkan konseli.

F.     TAHAP-TAHAP KONSELING
Joyce dan sill (2011) mengatakan bahwa proses konseling gestalt terjadi dalam tahapan tertentu yang fleksibel. Tiap-tiap tahap memiliki prioritas dan tujuan tertentu yang membantu konselor dalam mengorganisasikan proses konseling. Tahap-tahap tersebut yaitu:
1.      Tahap Pertama
Pada tahap ini konselor menggunakan metodhe fenomenologi untuk meningkatkan kesadaran konseli, menciptakan hubungan dialogis mendorong keberfungsian konseli secara sehat dan menstimulasi konseli untuk mengembangkan dukungan pribadi dan lingkungannya (Joyce & sill 2001 dalam safaria 2005, p. 84-85).
Secara garis besar, proses yang dilalui dalam konseling tahap pertama adalah:
·         Menciptakan tempat yang aman dan nyaman (safe container) untuk proses konseling.
·         Mengembagkan hubungan kolaboratif.
·         Mengumpulkan data, pengalaman konseli, dan keseluruhan gambaran kepribadiannya dengan pendekatan fenomenologis.
·         Meningkatkan kesadaran dan tanggungjawab pribadi konseli.
·         Membangun sebuah hubungan yang dialogis.
·         Meningkatkan self-support, khususnya dengan konseli yang memiliki proses diri yang rentan.
·         Mengidentifikasi dan mengklarifkasikan kebutuhan-kebutuhan konseli dan tema-tema masalah yang muncul.
·         Membuat prioritas dan kesimpulan diagnosis terhadap konseli.
·         Mempertimbangkan isu-isu budaya dan isu-isu lainnya yang memiliki perbedaan potensial antara konselor dan konseli serta mempengaruhi proses konseling.

2.      Tahap kedua
Pada tahap ini proses konseling berlanjut pada strategi-strategi yang lebih spesifik. Konseli mengekplorasi berbagai introyeksi, berbagai modifikasi kontak yang dilakukan dan unfinished business. Peran konselor adalah secara berkelanjutan mendorong dan membangkitkan keberanian konseli mengungkapkan ekspresi pengalaman dan emosi-emosinya dalam rangka katarsis dan menawarkan konseli untuk melakukan berbagai eksperimentasi untuk meningkatkan kesadarannya, tanggungjawab pribadi dan memahami unfinished business. Adapun proses tahap ini meliputi:
·         Mengatasi urusan yang tidak selesai.
·         Mengatasi ekspresi-ekspresi konseli atau proses katarsis.
·         Melakukan eksperimentasi perilaku baru dan memperluas pilihan-pilihan bagi konseli.
·         Terlibat terus menerus dalam hubungan yang dialogis (Joyce & sill 2001 dalam safaria 2005, p. 85-86).

3.      Tahap ketiga
Pada tahap ini ditandai aktivitas yang dilakukan konseli dengan mengekplorasi masalahnya secara mendalam dan membuat perubahan-perubahan yang yang cukup signifikan. Tahap ini merupakan fase tersulit karena pada tahapini konseli menghadapi kecemasan-keceasannya sendiri, ketidakpastian dan ketakutan-ketakutan yang selama ini terpendam dalam diri. Selain itu, konseli menghadapi perasaan terancam yang kuat disertai dengan perasaan kehilangan harapan untuk hidup yang lebih mapan. Pada fase ini konselor memberikan dukungan dan motivasi berusaha memberikan keyakinan ketika konseli cemas dan ragu-ragu menghadapi masalahnya (Joyce & sill 2001 dalam safaria 2005, p. 86-87).
Pada tahap ini terdapat beberapa langkah yang dilalui, yaitu:
·         Menghadapi hal-hal yang tidak diketahui dan mempercayai regulasi diri organismik klien untuk berkembang.
·         Memiliki kembali bagian dari diri konseli yang tadinya hilang atau tidak diakui.
·         Mengalami sebuah hubungan perbaikan yang terus-menerus berkembang (Joyce & sill 2001 dalam safaria 2005, p. 87).

4.      Tahap keempat
Pada tahap ini konseli sudah mulai dapat mengatasi krisis-krisis yang diekplorasi sebelumnya dan mulai mengintegrasikan keseluruhan diri. Penglaman dan emosi-emosinya dalam perspektif yang baru. Konseli telah mampu menerima ketidakpastian, kecemasan dan ketakutannya, serta menerima tanggungjawab atas kehidupannya sendiri. Tahap ini terdiri dari beberapa langkah, diantaranya:
·         Membentuk kembali pola-pola hidup dalam bimbingan pemahaman baru dan insight baru
·         Menerima ketidakpastian dan kecemasan yang dapat menghasilakan makna-makna baru.
·         Menerima tanggungjawab untuk hidup. (Joyce & sill 2001 dalam safaria 2005, p. 88).
5.      Tahap kelima
Pada tahap ini konseli siap untuk memulai kehidupan secara mandiri tanpa supervisi konselor. Tahap pengakhiran ditandai proses sebagai berikut:
·         Berusaha untuk melakukan tindakan antisipasi akibat hubungan konseling yang telah selesai.
·         Memberikan proses pembahasan kembali isu-isu yang ada.
·         Merayakan apa yang telah dicapai.
·         Menerima apa yang belum tercapai.
·         Melakukan antisipasi dan perencanaan terhadap krisis dimasa depan. (Joyce & sill 2001 dalam safaria 2005, p. 89)
Hubungan antara konselor dan konseli adalah aspek yang paling penting dalam konseling. Dialog eksistensial adalah bagian yang esensial dalam metode terapi gestalt dan sebagai manifestasi dari perspektif eksistensial dalam hubungan konseling, hubungan tumbuh melalui kontak. Terapi gestalt bekerja dengan menggunakan dialog dibandingkan dengan memanipulasi konseli untuk mencapai tujuan konseling. Hubungan terapeutik terapi gestalt menekankan pada empat karakteristik dialog, yaitu:
1)      Inklusi
Inklusi adalah menempatkan individu sepenuhnya dalam pengalaman orang lain tanpa menilai, menganalisis, dan menginterprestasi selagi secara simultan mempertahankan perasaan individu, kemandirian individu. Pendekatan ini adalah aplikasi eksistensial dan interpersonal dari fenomenologi. Inklusi mempersiapkan lingkungan yang aman untuk konseli sehingga membantu mempertajam kesadaran konseli. (Yotnef 1993).
2)      Kehadiran
Konselor menggunakan pendekatan gestalt mengekspresikan dirinya kepada konseli, pada umumnya, konselor memperlihatkan perasaan dan pengalaman pribadi, serta pemikiran dari proses konseling untuk membantu konseli belajar tentang kepercayaan dan menggunakan pengalaman untuk meningkatkan kesadarannya. (Yotnef 1993).

3)      Komitmen untuk dialog
Komitmen untuk dialog didapatkan melalui kontak. Kontak bukan sekedar hubungan dua orang, tetapi kontak adalah sesuatu yang terjadi dalam interaksi antara dua orang konselor dan konseli, konselor gesalt menciptakan kontak yang egaliter antara konselor dan konseli, bukan memanipulasi kliennya dengan mengontrol tujuan konseling. (yotnef 1993).

4)      Dialog yang hidup
Dialog adalah segala sesuatu yang dilakukan, bukan sekedar dibicarakan. Lived menekankan pada kesenangan dan kepentingan diri melakukan eksperimen, jenis dialog dapat berupa tarian, lagu, kata-kata atau berbagai bentuk yang dapat mengekpresikan dan menggerakkan energi konseli. (Yotnef 1993).

G.    TEKNIK-TEKNIK KONSELING
Terdapat beberapa teknik bahasa, permainan, dan fantasi yang dapat digunakan untuk mempertahankan orientasi pada masa sekarang (present-time orientation) dalam wawancara konseling, antara lain :[10]

Ø  KURSI KOSONG (Empty Chair)
Teknik kursi kosong bertujuan untuk membantu mengatasi konflik interpersonal dari intrapersonal (Thompson,et.al.,2004,p. 191). Teknik ini membantu konseli untuk keluar dari proses introyeksi. Pada teknik konselor menggunakan dua kursi. Konselor meminta konseli untuk duduk di satu kursi dan berperan sebagai topdog. Kemudian berpindah ke kursi lainya dan menjadi underdog. Dialog dilakukan berkesinambungan pada dua peran tersebut. Dengan teknik ini, introyeksi akan terlihat dan konseli dapat merasakan konflik yang ia rasakan secara lebih real. Konflik tersebut akan dapat diselesaikan dengan penerimaan dan integrasi antara kedua peran tersebut. Teknik ini membantu konseli untuk merasakan perasaanya tentang konflik perasaan dengan mengalami secara penuh (Corey, 1986,p. 136).
Teknik kursi kosong merupakan intervensi yang kuat, yang dapat digunakan untuk membantu konseli segala umur yang memiliki konflik dengan orang ketiga yang tidak hadir dalam proses konseling. Contohnya konflik dengan saudara kandung, guru, orang tua, teman, atasan, dan pasangan. Konseli diajak berbicara secara langsung dengan orang yang menjadi sumber konflik seperti orang tersebut hadir di kursi kosong. Hal ini lebih baik dilakukan untuk mengatasi masalah dibandingkan konseling di ajak bercerita tentang seberapa jahat, menyakitkan dan tidak menyenangkanya orang yang menjadi sumber konflik. Kursi kosong digunakan untuk menyelesaikan unfinished business dengan orang yang dicintai. Konseli diminta berbicara dengan orang yang dicintai yang telah meninggalkanya seperti orang tersebut hadir di kursi kosong. Pelaksanaan teknik ini dapat berupa monolog di mana orang yang di ajak berbicara di kursi kosong tidak menjawab, atau dapat berupa dialog di mana orang tersebut menjawab seperti yang mungkin di jawab oleh orang tersebut (Thompson, et.al,. 2004 p. 191).
Contoh :
Anak yang merasa bersalah pada ayahnya yang sudah meninggal mungkin berkata pada ayahnya: “pah aku selalu sayang sama papa tapi aku gak bisa ngomong ini”. Ayahnya mungkin menjawab: “Nak. Walaupun kamu tidak mengatakanya, papa tau kamu sayang sama papa” (Thompson, et.al,. 2004, p. 191).
Teknik ini biasanya digunakan pada kasus-kasus seperti : (1) introyeksi diri orangtua versus diri anak (2). Bagian diri yang bertanggung jawab versus bagian diri yang impulsif (3). Orang yang puritan versus dengan orang yang ekspresif (4). Orang yang agresif versus orang pasif (5). Diri yang otonom versus diri yang tergantung (6). Anak baik versus anak nakal (7). Orang yang bekerja keras versus orang yang menghindari pekerjaan (Corey, 1986, p. 136).
Greenbreg dan Malcolm (2002) menjelaskan enam langkah dalam menggunakan teknik kursi kosng, yaitu :[11]
·         Konseli mengidentifikasi orang yang menjadi sumber unfinished business.
·         Konseli merespon seperti yang ia yakini orang tersebut akan merespon.
·         Konseli melakukan dialog sampai pada poin tercapainya resolusi untuk menyelesaikan unfinished business.
·         Konseli memahami unifinished business dari figure to ground dalam kesadaran konseli (Thompson, et,al,. 2004, p. 192).

Ø  Topdog Versus Underdog
Topdog adalah perasaan marah bila sesuatu tidak sesuai nilai atau norma moral (righteous), autoritarian, dan mengetahuiyang terbaik. Topdog adalah orang yang menggunakan kekuatanya untuk menekan dan menakuti orang lain dan bekerja dengan kata “kamu harus” dan “kamu tidak boleh”. Sementara itu, underdog manipulatif dengan menjadi defensif, merengek dan menangis seperti bayi. Underdog bekerja dengan kata “saya mau” dan mencari alasan seperti “saya sudah berusaha keras”.[12]
Teknik ini menggunakan dua kursi untuk membantu mengatasi konflik antara “yang saya inginkan” dan “yang seharusnya”. Satu kursi menjadi topdog (yang seharusnya) dan kursi yang lain menjadi underdog (yang saya inginkan). Konseli dimintak untuk mengatakan argumen yang terbaik dengan posisi topdog (yang seharusnya) dan pindah ke kursi underdog (yang saya inginkan). Kemudian konseli diminta berargumen sampai mencapai poin dimana konseli mencapai integrasi dari apa yang seharusnya (topdog) dan apa yang diinginkan (underdog) (Thompson, et.al,. 2004, p. 190).

Ø  Membuat Serial (making the rounds)
Membuat serial adalah latihan gestalt yang melibatkan individu untuk berbicara atau melakukan sesuatu kepada orang lain dalam kelompok. Tujuan teknik ini adalah untuk melakukan konfrontasi, mengambil risiko, untuk membuka diri, melatih tingkah laku baru, dan untuk melakukan perubahan (Corey, 1986, p. 137).
Contoh :
Individu yang memiliki ketakutan untuk mempercayai orang lain. Konseli diminta untuk mengatakan kepada anggota kelompok yang lain dengan datang kepada mereka satu persatu sambil berkata “saya tidak mempercayai kamu karena.......” (Corey, 1986, p. 137).

Ø  “Saya bertanggung jawab atas.....” (“I Take Responsibility for.....”).
Teknik bertujuan membantu konseli untuk menyadari dan mempersonalisasi perasaan dan tinggkah lakunya serta mengambil tanggung jawab atas perasaan dan tingkah lakunya. Konseli diminta untuk mengisi bagian kosng sebagai cara mengevaluasi tanggung jawab personal dan bagaimana konseli mengatur hidupnya.
Contoh:
Konseli diminta untuk berkata: “saya merasa kesepian dan saya merasa bertanggung jawab atas perasaan saya”. Latihan ini dapat membuka mata konseli yang biasanya cenderung melihat orang lain sebagai sumber perasaan yang baik dan buruk (Thompson, et.al,. 2004, p. 191 ; Corey,1986, p. 137).

Ø  Bermain Proyeksi (Playing Projection)
Dinamika proyeksi adalah individu yang melihat secara jelas kepada oarang lain apa yang tidak ingin dilihat dan menerima dalam dirinya. Individu tersebut berusaha keras untuk menolak perasaanya dan menyalahkan orang lain atas kejadian yang terjadi pada dirinya. Teknik ini biasanya dilakukan dalam seting kelompok, namun bisa juga diberikan pada seting individual (Corey, 1986, p. 138). Pada teknik ini, konselor meminta konseli yang sering berkata bahwa ia tidak dapat mempercayai orang lain untuk bermain pearan sebagai orang yang tidak bisa dipercaya. Dengan bermain peran, konseli tersebut dapat diharapkan menemukan tingkat ketidakpercayaanya kepada orang lain. Dengan kata lain, konselor meminta konseling untuk berusaha mengukur berdasarkan kalimat yang ia lontarkan tentang seberapa besar dan berat tingkat ketidakpercayaanya terhadap orang lain (Corey, 1986, p. 138).

Ø  Pembalikan ( Reversal Technique)
Asumsi teknik ini adalah bahwa gejala dan tingkah laku tertentu sering kali merepresentasikan implus-implus yang di tekan dan laten yang ada dalam diri individu. Teknik ini bertujuan untuk mengajak konseli untuk mengambil resiko terhadap ketakutan, kecemasan dan melakukan kontak dengan bagian dirinya yang selama ini ditolak dan ditekan. Untuk itu, konselor meminta konseli untuk melakukan tingkah laku yang kebalikan dari apa yang iaya katakan.
Contoh :
Konseli mengatakan bahwa ia telah tersiksa karena ia terlalu pemalu dan tidak memiliki kepercayaan diri. Konselor menyuru konseli tersebut untuk bertingkah laku seperti orang yang penuh percaya diri (Corey, 1986, p. 138).

Ø  Latihan Gladiresik (The Rehearasal Experiment)
Menurut perls, pikiran individu banyak berulang-ulang. Individu cenderung mengulang fantasi-fantasi yang individu rasa bahwa itu adalah harapan-harapan dari lingkunganya,. Sehingga ketika individu barada dalam lingkungan tersebut, ia menjadi ketakutan, cemas karena ia tidak akan dapat menampilkan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Pengulangan internal (internal rehearsal) ini menghabiskan banyak energi psikis individu dan dapat menghambat perkembangan individu. Teknik ini dapat diterapkan melalui permainan sharing. Individu diminta kepada orang lain tentang fantasi-fantasi yang sering ia katakan dan ulang-ulang secara internal dalam dirinya. Dengan mengatakanya secara verbal kepada orang lain, konseli dapat membedakan fantasi dan kenyataan serta dapat menguji coba tingkat ekspektasi orang lain. Hal ini membuat konseli dapat mengukur seberapa besar ia ingin diterima dan disukai orang lain, serta seberapa besar usaha yang harus dilakukan untuk mencapainya (Corey, 1986, p. 138).

Ø  Latihan Melebih-Lebihkan (The Exaggeration Experiment)
Teknik ini membantu konseli untuk menjadi lebih sadar pada tanda-tanda bahasa tubuh. Gerakan, postur tubuh, expresi wajah dan gerakan tubuh menjadi sarana komunikasi yang memiliki makna yang signifikan. Pada teknik ini, konseli diminta untuk mengulangi kembali secara berlebihan gerakan dan bahasa tubuh yang biasa dilakukan seiring dengan tingkah laku tertentu.
Contoh:
Konseli yang selalu tersenyum ketika menghadapi masalah, kecemasan dan kesedihan. Konselor meminta konseli untuk berdiri dan tersenyum setiap kali konselor brtanya atau berkata tentang hal-hal yang menyedihkan bagi konseli (Corey, 1986,p. 139).

Ø  Tetap Pada Perasaan (Staying With the Feeling)
Sebagian besar konseli cenderung melarikan diri dari perasaan yang tidak menyenangkan dan menghindari dari situasi yang mengarah kepada perasaan yang tidak menyenangkan. Pada teknik ini konselor meminta kepada konseli untuk tetap pada perasaan ketakutan dan kesakitan dan merasakanya pada proses konseling.
Konselor mendorang konseli untuk merasakan dan melakukan kegiatan yang cenderung dihindarinya. Dengan menghadapi, mengkonfrontasi, dan mengalamiperasaan tidak saja dapat membuat konseli menjadi berani, tetapi juga membangkitkan keinginan untuk mengatasi kesakitan. Hal ini di mungkinkan karena konseli membuka diri untuk mengalami kesakitan dan membuka jalan untuk melangkah ke arah yang lebih positif (Corey, 1986,p. 139).

Ø  Bahasa “Saya” (“I” Language)
Konselor mendorong kepada konseli untuk menggunakan kata “saya” (I) ketika konseli mengeneralisasikan kata “kamu” (You) dalam berbicara. Contohnya ketika konseli berkata: “kamu tau kan susah sekali untuk mengerti matematika”. Konseli di minta mengganti kamu dengan saya, “saya tau bahwa saya tidak mengerti metematika”. Ketika konseli berusaha mengganti dengan kata “ saya” diumpamakan seperti melihat sepasang sepatu dan bagaimana pasangan itu menjadi serasi. Teknik ini bertujuan untuk membantu konseli bertanggung jawab atas perasaan, pikiran dan tingkah lakunya. (thompson, ea.al,. 2004, p. 188).




BAB III
KESIMPULAN

·         Pendekatan Gestalt termasuk dalam terapi phenomenological-existential yang di prakarsai oleh frederick (Fritz) and laura perls pada tahun 1940-an.
·         Pendekatan Gestalt berfokus pada proses (Whatb is happening) daripada isi (what is being discussed).
·         Pendekatan gestalt dipengaruhi oleh perspektif fenomenologi (the phenomenological perspective), perspektif teori medan (the field theory perspective), perspektif eksistential (the existential perspective).
·         Individu yang sehat secara mental adalah individu yang dapat mempertahankan kesadaran, yang dapat merasakan dan berbagai konflik pribadi dan frustasi dengan kesadaran dan konsentrasi yang tinggi, yang dapat membedakan konflik dan masalah yang dapat diselesaikan dan tidak dapat diselesaikan, yang dapat mengambil tanggung jawab, yang dapat berfokus pada satu kebutuhan (the figure) pada satu waktu sambil menghubungkanya dengan kebutuhan yang lain (the ground).
·          Individu yang sehat adalah individu yang dapat melengkapi siklus gestalt. Bila individu tidak dapat menggenapi siklus tersebut, maka individu memiliki beberapa masalah yang berkaitan dengan lapisan neurosis, urusan yang tidak selesai (unfinished business), dan berbagai bentuk pertahanan diri (modes of defense).
·         Kecemasan yang dialami individu diakibatkan oleh harapan katastropik (catastrophic expectation), yaitu kecemasan akan hal-hal buruk yang akan trjadi di masa yang akan datang, dan harapan anastropik (anastropic expectation) yaitu harapan-harapan yang berlebihan bahwa hal-hal yang baik dan menyenangkan yang akan terjadi dimasa depan.
·         Individu memiliki lima lapisan neurosis dalam dirinya yang diumpamakan seperti kulit bawang yang berlapis-lapis, yaitu the pony layer : the phobic layer, the impasse layer, the implovise layer, dan the explosive layer.
·         Individu memiliki lima bentuk pertahanan diri (modes of defense) yang beroperasi dalam dirinya, yaitu (1). Introyeksi (introjection) (2). Proyeksi (projection) (3). Retrofleksi (retroflection) (4). Deflection and (5). Confluence and isolation.
·         Konselor berperan dalam memfokuskan pada perasaan, kesadaran, bahasa tubuh, hambatan energi, dan hambatan untuk mencapai kesadaran yang ada pada konseli.
·         Empat karakteristik dialog dalam hubungan terapeutik yaitu inklusi (inclusion), kehadiran (presence), komitmen untuk dialog (commitment to dialogue), dialog yang hidup (dialogue is livid).
·         Teknik-teknik yang digunakan dalam konseling gestalt antara lain: kursi kosong (empty chair),topdog versus underdog, membuat serial (making the rounds), “saya bertanggung jawab atas......” (“I take responcibility for....”), bermain proyeksi (playing projection), pembalikan (reversal technique), latihan gladiresik (the reharseal experiment), latihan melebih-lebihkan (the exaggeration experiment), tetap pada perasaan (staying with the feeling), bahasa “saya” (“I” language)


DAFTAR PUSTAKA

Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-dasar Konseling, Jakarta : Kencana
Corey, G. 2005. Teori dan Praktek Konseling dan Psikotrapi. Bandung : PT. Rafika Aditama
Wahyuni, Eka dan Antina Komalasari, 2001. Teori dan Tehnik Konseling. Jakarta : PT. Indeks.
Triantoro Safari, 2005, Teori dan Konseling Gestalt, Yogyakarta : Graha Ilmu




[1] Lubis, Namora Lumongga, Memahami Dasar-dasar Konseling,(Jakarta: Kencana,2011), Hal.213
[2] Corey, G. Teori dan Praktek Konseling dan Psikotrapi.(Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005), Hal.129.
[3] Wahyuni, Eka dan Antina Komalasari, Teori dan Tehnik Konseling. (Jakarta : PT. Indeks, 2001). Hal.68
[4] Triantoro Safari, Teori dan konseling Gestalt, (Yogyakarta: PT.Graha ilmu,2005). Hal. 75
[5] Ibid., Hal 76
[6] Corey, G. Teori dan Praktek Konseling dan Psikotrapi.(Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005), Hal.130
[7] Wahyuni, Eka dan Antina Komalasari, Teori dan Tehnik Konseling. (Jakarta : PT. Indeks, 2001). Hal.189-190
[8] Ibid., Hal. 191
[9] Lubis, Namora Lumongga, Memahami Dasar-dasar Konseling,(Jakarta: Kencana,2011), Hal.233
[10] Corey, G. Teori dan Praktek Konseling dan Psikotrapi.(Bandung : PT. Rafika Aditama, 2005), Hal.150
[11] Ibid., Hal. 151
[12] Ibid., Hal. 152

Tidak ada komentar:

Posting Komentar